“DAN AKU SEMAKIN MENGENALI PRIBADIKU YANG SESUNGGUHNYA SANGAT MEMBENCI SEBUAH PENOLAKAN ORANG LAIN ATAS DIRIKU DAN ATAS APA YANG SEDANG DAN INGIN AKU LAKUKAN.”
16-17 Mei 2011
Hari itu menjadi hari yang sangat panjang sekaligus juga terlalu singkat bagiku, bagi empat orang temanku yang lainnya, bagi kami berlima. Hari yang melelahkan dalam perjalanan kami sekaligus juga menjadi hari yang sangat menyenangkan. Hari Senin pagi, kami berangkat dari Medan, kota metropolitan yang sesak padat panas mencekik, menuju satu desa yang lebih nyaman pastinya dari segi hawa lingkungan. Hanya saja desa yang kami tuju ini adalah satu tempat yang mendapat predikat sangat buruk dalam kalangan public secara general. Mungkin kamu juga sekilas tahu akan desa ini “BANDAR BARU”
Bandar Baru adalah satu desa yang ntah sejak kapan sudah menyandang predikat sebagai tempat “Pekerja Seks Komersial”.
“Sejak saya tinggal di sini, bungalow itu sudah ada dan sudah dijadikan sebagai tempat prostitusi oleh mereka (para wanita pekerja seks komersial)”, demikian ungkap salah seorang warga Desa Bandar Baru ketika kami melakukan jajak pendapat.
Aku bersama tiga orang teman lain, Tika Anggreni, Helen Semmila, dan Vina Ferbrina, tergabung dalam satu kelompok untuk tugas Public Opinion/ Pendapat Umum, terkait materi polling, yakni sebuah teknik untuk menyelidiki apa yang dipikirkan orang terhadap isu atau masalah yang muncul. Polling ini sendiri merupakan satu metode ekspresi yang muncul pada periode tahun 1930-an yang dipelopori oleh lembaga polling pada masa itu baru berdiri (Gallup, Roper, Yankelovich) dengan asumsi untuk apa menyertakan banyak orang kalau sedikit orang sebenarnya sudah cukup untuk mewakili suara suatu masyarakat.
Selanjutnya, kami diberi pilihan untuk melakukan polling tentang satu masalah yang tengah hangat dibicarakan atau yang kontroversial di kalangan publik. Maka kami memilih isu kontroversial untuk kemudian diangkat menjadi rujukan tugas kami, yakni “UNTUK MENGETAHUI PENDAPAT MASYARAKAT BANDAR BARU TERHADAP PREDIKAT BANDAR BARU SEBAGAI TEMPAT PEKERJA SEKS KOMERSIAL”
Hari Senin, 16 Mei 2011, kami berangkat pagi-pagi sekali dari Kota Medan dan karena kondisi jalan yang sangat luar biasa macet, selain karena bertepatan dengan hari raya Waisak, ada bus yang mengalami kecelakaan di jalan sehingga memperparah kemacetan sepanjang ruas jalan. Kami baru tiba di Bandar Baru setelah sekitar empat jam dalam perjalanan. Padahal seharusnya, apabila dalam keadaan jalanan normal, hanya membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam.
Buruknya lagi, setiba di Bandar Baru, awan tampaknya sangat tidak bersahabat ataukah dia hanya ingin menunjukkan pesonanya yang luar biasa lewat butiran airnya, entahlah. Tapi yang pasti, hujan sangat deras sekali dan kami hanya bisa menunggu untuk akhirnya bisa turun ke lapangan memulai mewawancara responden terpilih setelah kami terlebih dahulu melakukan proses sampling, melalui probability sampling, yakni pengambilan sampel secara acak atau sembarang dengan memberi peluang yang sama kepada seluruh populasi untuk dipilih sebagai sampel penelitian, dan dalam hal ini digunakan Systematic Sampling/ Sampel acak sistematis. Untuk metode wawancara, kami memilih metode tatap muka/ langsung dengan menggunakan kuesioner berisikan pertanyaan sederhana, tiga pertanyaan tertutup dan satu pertanyaan terbuka.
Saat mengikuti kelas perkuliahan bersama dosen mata kuliah Public Opinion/ Pendapat Umum, Ibu Mazda, beliau sudah memberitahukan bagaimana teknik wawancara yang baik dan beliau juga sudah membagi pengalamannya kepada kami tentang bagaimana dirinya ketika harus turun ke lapangan menjadi peneliti/ pewawancara.
“Kalian juga nanti bakalan tau bagaimana sakitnya ditolak responden waktu di lapangan. Ibu udah ngerasain nggak enaknya beberapa kali, malah ada yang anggap ibu datang minta sumbangan. Tapi itu bakalan jadi pengalaman buat kalian, jadi bukan cuma tau nggak enaknya kalau ditolak sama cewek atau cowok aja ”, begitu ungkap beliau.
Dan benar, tiba di lapangan kami menemukan betapa sulitnya melakukan sebuah penelitian seperti ini, padahal masih dalam skala yang sangat kecil.
Keadaan geografis desa Bandar Baru sendiri sudah menguras tenaga kami sebelum kami berhasil menemukan satu responden pun untuk diwawancara. Melewati jalanan yang berlubang, bebatuan, panas terik, lalu tiba-tiba hujan, terkadang jalanan sedikit mendaki lalu turunan lagi, melelahkan. Tapi lelahnya sedikit terlupakan ketika kami berjalan mendengar gemuruh air sungai sepertinya, kami tak tahu tepatnya dari mana sumber suara itu, tapi seperti berada di bawah kaki kami berpijak. Kemudian suara angin mendesir juga terdengar ditambah lagi dengan indahnya bukit-bukit yang tampak mengelilingi desa itu bersama hijau dan rimbun pepohonannya. Sungguh indah karya Pencipta kita.
Seolah terlepas dari kepenatan metropolitan kota Medan yang mewah dengan gedung-gedung mahalnya.
Hari Senin yang payah.
Kami gagal menemukan responden untuk diwawancara setelah berjalan kaki sangat jauh, dan sangat jauh sekali ku rasa begitu.
Kami memutuskan pulang dan melanjutkannya esok hari lagi karena mega juga sudah tampak di langit sore. Dalam pikiran kami, pastilah melegakan akhirnya bisa beristirahat karena kaki-kaki kami yang malang sudah sangat pegal seperti mau patah. Tapi, kabar buruknya, nyaris saja kami tak bisa pulang karena tak ada bus untuk pulang. Jalanan tetap sangat ramai, macet total. Beruntung, pada akhirnya setelah menunggu sepersekian jam, kami mendapat transportasi untuk pulang. Tak mendapat tempat duduk di bangku dan harus berdesakan di dalam, tak lagi menjadi soal, yang terpenting ada jalan untuk pulang. Kami tak pulang ke Medan tapi menuju Kabanjahe, karena sebenarnya saya hanyalah seorang perantau di Medan, menetap sebagai anak kost, dan orang tua saya berdomisili di Kabanjahe, Kabupaten Karo yang sangat asri.
Selasa, 17 Mei 2011
Kami kembali ke Desa Bandar Baru sekitar jam sepuluh pagi. Setibanya, kami langsung menapaki kembali jalanan panjang Bandar Baru untuk menemukan responden kami.
Dan benar sekali apa yang dikatakan dosen kami sebelumnya, sakit sekali mendapat penolakan dari responden.
Dalam kepalaku, aku berpikir “Apa salahnya meluangkan waktumu sebentar saja, minimal dua menit untuk menjawab hanya empat buah pertanyaan saja?! Empati sedikit dengan mahasiswa. Capek lho kami jalan kaki!”
Tapi tak mungkin kami datang, ditolak, lalu mengumpat kepada responden.
Ketika aku kesal dengan penolakan responden seperti itu, aku pun semakin mengenali diriku yang ternyata sangatlah tidak menyukai sebuah penolakan dari orang lain. Tapi suka tak suka, aku harus siap dengan sebuah penolakan.
Itu hal yang aku dapat.
PENOLAKAN dari orang lain itu sangat menyakitkan dan menyedihkan. Seringkali kita ingin marah ketika orang lain menolak diri kita, menolak keinginan kita, menolak pernyataan atau opini kita, menolak pemberian atau tawaran kita, dan banyak hal lain yang bersangkutan tentang penolakan.
Seringkali justru kita tak sanggup menahan emosi kita ketika kita berhadapan dengan penolakan atas diri kita dari orang lain. Artinya, kita belum cukup terlatih dalam hal mengontrol emosi pribadi dan membudayakan tingkat kesabaran.
Selama dua hari melakukan polling ke Bandar Baru, aku merasakan bagaimana tak enaknya ditolak oleh responden yang akan diwawancara di tengah kondisi badan yang sudah sangat letih sekali. Aku sangat membenci itu. Ingin sekali rasanya menghantam mereka, mencampakkan kuesioner ke arah mereka, meludah ke wajah mereka, tapi tak mungkin itu ku lakukan. Aku yang memerlukan waktu mereka dan pendapat mereka. Bukan mereka yang berkepentingan denganku yang hanyalah orang asing bagi mereka.
Karena itu, aku meredam marahku ketika ditolak, menarik napas panjang seraya tetap mengucapkan “Terima kasih, Bapak/ Ibu”, sambil tersenyum semanis mungkin tetap berusaha menunjukkan kesan ramah, lantas berlalu pergi meninggalkannya.
Yang aku semakin tahu tentang diriku ketika itu, aku masih harus perlu banyak lagi bertemu dengan berbagai karakter orang, menghadapi lebih banyak lagi penolakan dari mereka, untuk kemudian aku lebih terbiasa dengan sebuah penolakan sehingga tak merasa seperti terhempas dari ketinggian ketika harus ditolak, tak terkecuali dalam hal apa pun.
Penolakan yang tak enak harus dihadapi dengan kesabaran dan murah senyum, ibarat materi kuliah yang harus dituntaskan dengan sepuluh sks.
Tapi aku beruntung karena masih bisa belajar. Thx, God. I love You.