Berikut sebuah ringkasan kisah nyata dari seorang perempuan yang tinggal di desa kecil Tepi Barat, Palestina yang lolos dari pembunuhan atas nama kehormatan. Diambil dari sebuah buku terjemahan “BURNED ALIVE” yang ditulis oleh Souad (yang identitasnya masih dirahasiakan sampai bukunya ditebitkan) dan sudah ditulis dalam 29 bahasa di 28 negara. Di Indonesia, buku ini diterbitkan oleh Pustaka Alvabet Anggota IKAPI.
Souad, seorang gadis yang tinggal di desa kecil, Tepi Barat, Palestina yang setiap hari mendapatkan siksaan dari ayah kandungnya sendiri. Dikurung, dipukuli, dijambak, diseret-seret, bahkan dicambuk, menjadi jatah harian Souad dari ayahnya.
Kesalahan terbesar Souad adalah, berkenalan dengan seorang lelaki dan hamil sebelum menikah. Souad berusaha menutupinya dari keluarganya tapi tak berlangsung lama. Setelah keluarganya mengetahuinya, maka disusunlah sebuah rencana bagaimana mereka akan membunuh Souad.
Saat itu usia kandungan Souad kira-kira tujuh bulan.
Bentuk pembunuhan yang direncanakan adalah membakar Souad hidup-hidup. Biasanya hal ini dilakukan oleh saudara laki-laki, sementara orang tua sengaja bepergian agar tidak berada di rumah pada saat pembunuhan terjadi dan berpura-pura tidak tahu, namun sebenarnya hal tersebut telah direncanakan dengan rapi oleh
keluarga.
Souad akhirnya dibakar hidup-hidup oleh saudara iparnya sendiri. Beruntung Souad berhasil dilarikan ke rumah sakit oleh gadis-gadis desa setempat. Akan tetapi, rumah sakit pun tak mau memberikan pelayanan medis untuk Souad karena mereka tahu Souad telah hamil di luar nikah.
Mereka membiarkan Souad kesakitan dengan kulit melepuh tanpa diobati sedikitpun. Hal yang tak terduga sama sekali, di tengah kesakitannya tergeletak tak berdaya tinggal menunggu kematiannya di rumah sakit, dia melahirkan bayinya dengan selamat tanpa bantuan medis sama sekali.
Berhari-hari Souad tak mendapatkan pengobatan apapun, tapi dia tetap bertahan hidup, sampai akhirnya seorang relawan Eropa membawanya ke Prancis untuk mendapatkan pengobatan setelah melalui proses perizinan yang sangat panjang, baik dari pihak rumah sakit, keluarga Souad, dan tentara Israel yang ketika itu menjaga perbatasan Palestina.
Di Prancis, Souad akhirnya mendapatkan pengobatan hingga sembuh, sampai akhirnya dia pulih, baik secara fisik maupun secara psikologis. Souad akhirnya mampu melanjutkan kehidupannya yang baru di Prancis, tempat yang berbeda jauh dengan tradisi desanya, terutama dalam hal representasi terhadap perempuan.
...
Di sebuah desa kecil yang terletak di Tepi Barat, Palestina, pada abad ke-19 kehidupan perempuan berada dalam posisi yang sangat memprihatinkan, tak lebih dari seorang budak. Bahkan di waktu itu, nilai seorang perempuan dianggap lebih rendah daripada seekor binatang. Sapi bisa memberikan susu dan anak sapi untuk kemudian dijual dan menghasilkan uang. Domba bisa menghasilkan wol untuk dijual kemudian mendatangkan uang. Sementara perempuan? Tak ada artinya.
Seorang gadis di desa kecil itu tidak boleh berpergian keluar rumah seorang diri tanpa ditemani ibu atau kakak perempuannya, tanpa domba, tanpa membawa seikat rumput kering atau sekantung buah ara. Seorang gadis juga harus berjalan dengan langkah cepat dan kepala menunduk, jangan sampai ada seorang lelaki yang sempat menangkap pandangan matanya. Seorang gadis juga tak diizinkan berbicara dengan lelaki asing manapun kecuali ayah dan saudara laki-lakinya. Kalau ada yang kedapatan melanggar aturan itu, maka dia akan dicap sebagai seorang “charmuta” atau pelacur.
Di desa itu, seorang anak perempuan dikatakan sudah “dewasa” ketika sudah mendapatkan menstruasi pertamanya. Ketika seorang gadis sudah menginjak usia 14 tahun, maka dia akan menunggu untuk dinikahkan. Ketika hampir mencapai usia 20 tahun, belum juga ada laki-laki yang melamarnya, maka seluruh warga desa akan mengolok-oloknya dan itu akan menjadi aib bagi keluarganya.
Karakter bengis seolah sudah melekat pada seluruh laki-laki di desa itu. Sang suami akan memperlakukan isterinya seperti budak. Menjambak, memukul, mencambuk, menendang, menyeret-nyeret perempuan, seolah menjadi hal yang biasa bagi laki-laki di desa itu, bahkan mereka juga tak akan segan sama sekali untuk membunuh perempuan, sekalipun itu isterinya. Panjang usia seorang perempuan seolah-olah berada di tangan para lelaki.
Sekalipun seorang perempuan dibantai oleh suaminya, dia tak bisa pulang ke rumah orang tuanya karena itu hanya akan mendatangkan aib bagi orangtuanya. Oleh karena itu, dia harus bertahan di rumah suaminya meskipun mengharuskannya menjadi budak seumur hidup bagi suaminya sendiri.
Anak laki-laki adalah emas. Kehadiran anak laki-laki dalam sebuah keluarga adalah hal yang paling ditunggu. Sebaliknya, kelahiran seorang anak perempuan dianggap akan menjadi kesialan. Maka tak jarang, bayi-bayi perempuan akan dibunuh ibunya saat kelahirannya. Mungkin menurut sang ibu, bayi perempuan itu lebih baik mati daripada harus disiksa dan dijadikan budak sepanjang hidupnya nanti, bahkan oleh ayah kandungnya sendiri.
...
Fenomena tersebut menggambarkan tentang representasi perempuan di Tepi Barat Palestina pada abad ke-19, dimana ada ketidakadilan gender sehingga perempuan gagal berekspresi di ruang publik dikarenakan satu kebudayaan patriarki yang sangat kuat dalam desa tersebut. Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan.
Selain kekerasan pada perempuan yang seolah menjadi hal biasa, bentuk ketidakadilan pada perempuan di Tepi Barat, Palestina juga terjadi dalam bentuk subordinasi. Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya yang sudah mengakar, bahkan dikukuhkan oleh nilai agama dan budaya masyarakat. Laki-laki diizinkan untuk melakukan apapun sesuka hatinya, sementara perempuan diperlakukan sebagai budak. Bahkan, untuk mengenyam pendidikan pun, seorang perempuan tidak layak.
Perempuan dimarjinalisasi dan didiskriminasi tanpa ada pihak yang berupaya merobohkan adat istiadat tersebut. Kaum perempuan di desa itu juga tak bisa vokal menyuarakan keberatannya atas sikap keras yang bahkan tak beradab dari laki-laki, kecuali mereka siap untuk disiksa atau bahkan dibunuh.
Isu gender yang menyangkut kekerasan, subordinasi, dan marjinalisasi yang berkeliaran di tengah perbincangan masyarakat, ternyata benar adanya terjadi dengan sangat mengerikan kepada para perempuan di Tepi Barat, Palestina pada abad ke-19. Bahkan ketika itu, pembunuhan atas nama kehormatan menjadi hal yang sangat wajar. Salah satunya seperti yang terjadi pada Souad dalam kisah “Burned Alive” tersebut.