Selasa, 26 Juli 2011

Ku Pastikan Kamu Akan Mendapat Satu Pahala Lagi Setelah Membaca Ini

Saat ini yang ada dalam pikiranku adalah "Buanglah sampah pada tempatnya"

Aku tengah duduk di dalam satu angkutan umum bermarga Empat Tiga dengan aku memakai kaos pink-ku dan tas kecil andalanku. Aku kucel, berkeringat, muka kusut. SEMPURNA.
Di depan jalanan aku melihat mobil mewah dengan anggunnya merayapi jalanan. Dalam hati aku berharap "Andai aku punya mobil pribadi. Ck." Ku pikir, andai saja bapakku merelakan mobil Inova miliknya kulenggangkan di jalanan macet kota Medan ini, pasti aku tak perlu berkeringat menyedihkan seperti ini.


Di sepanjang jalanan, mataku liar memperhatikan. Empat Tiga-ku berhenti, lampu merah. Aku menarik napas panjang, ingin sekali rasanya mengutuki siapa si pembuat lampu merah itu. Aku melihat dari depan jalanan seseorang berjalan seolah bermain labirin melewati sisi kendaraan yang tengah berhenti. Dia seorang lelaki, ku kira usianya baru 25. Dia mengangkat kerupuk dagangannya setinggi dia bisa supaya terlihat oleh para pengendara mobil. Aku melirik ke plastik besar kerupuk dagangannya, kalau aku tak salah, mungkin itu baru laku terjual sebanyak delapan bungkus. Rp 2000.8 = ? Harga itu bahkan tak cukup untuk mulutku dalam sehari. Dia berkeringat, tapi tetap tersenyum.


Adik berambut panjang yang memakai rok kuning itu berjalan membawa koran "TRIBUN" dagangannya yang masih begitu banyak di tangan kecilnya, padahal hari sudah sangat sore. Kalau aku boleh menebak, usianya barangkali baru sepuluh tahun. Dia menggeliat di jalanan mencari uang sebagai loper koran. Harusnya dia bermain boneka atau belajar bersama teman seumurannya di lingkungan rumahnya. Harusnya begitu. Tapi dia harus bersemangat melangkah di jalanan yang bau karena polusi dengan menggendong koran-korannya. Yaa, dia bocah perempuan yang luar biasa.


Aku masih di Empat Tigaku, dan aku masih saja berpikiran, kapan aku akan berhenti menikmati bangku panjang 8-6 ini?
Ck.


Kembali aku melihat seorang lalaki kira-kira 40-an tahun. Oke, kita sebut saja dia bapak. Dia menawarkan dua minuman dingin (Aqua) di tengah jalanan, lagi-lagi aku mendapatinya ketika lampu merah tengah menyala. Sang bapak adalah seorang pedagang asongan. Sungguh, aku bingung. Kenapa dia bisa tersenyum seolah tak ada beban sama sekali padahal aku yakin dia berbeban berat. Dia menampakkan gigi-giginya mengiringi senyumnya yang memberi sinar di wjahnya yang penuh keringat. Sang bapak pasti sangat letih, kepanasan, dan bla bla, kenapa dia bisa tersenyum?


Aku?
Aku masih di Empat Tigaku.
Aku mengeluhkan diriku yang suka sekali mengeluhkan keadaan. Aku seringkali merasa bahwa dirikulah orang yang paling menyedihkan di lingkunganku, padahal? Bukan. Aku hanya kurang bersyukur.

Ku rasa, aku belum mendapatkan apa yang aku inginkan, karena aku terlalu sombong. Sombong, dalam arti (kembali lagi) kurang bersyukur.


Hidup ini adalah tentang bagaimana kita menjalaninya dan menikmatinya. Uang Rp 100.000 tidak akan terasa mahal sama sekali ketika kau tidak menganggapnya berharga. Belajar bersyukur, belajar bersyukur, dan belajar bersyukur.
Dan semua akan indah dengan apa yang kau miliki.
Ketika ada yang terasa kurang, berusahalah dahulu sebelum mengeluhkannya.

BERDOA, BERUSAHA, dan BERSYUKUR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar