Senin, 08 Agustus 2011
ALKISAH SEORANG PUTERI
Puisi-puisi dalam Angkatan Pujangga Baru punya kecenderungan untuk memainkan kata dengan bunyi dan iramanya tanpa peduli dengan kedalaman maknanya. Chairil Anwar sebagai salah satu sastrawan dalam Angkatan 45 kemudian menunjukkan hasil karyanya dengan bentuk-bentuk puisi yang bermain dalam kata dan bunyinya (sajak) tanpa harus kehilangan makna yang dalam dari puisinya.
Aku??
Aku menulis puisiku, tanpa aku memperhatikan keserasian bunyi, yang kupikirkan hanyalah seberapa dalam makna yang bisa kulukiskan dari rangkaian kata-kata sastraku. Apakah aku menyalahi aturan penulisan puisi?
Hampir dua tahun yang lalu...
Aku mulai menulis “Alkisah Seorang Puteri”. Aku begitu bersemangatnya, aku ingin menjadikannya satu karya yang bernilai. Puisi terpanjang.
Suatu waktu di bulan ke-12 di tahun 2009, aku seperti tertampar karena merasa akan kehilangan puisiku yang sudah ku ketik di laptop milikku sebanyak 2000-an kata. Laptopku bermasalah dan saat akan diperbaiki, dia mengatakan aku akan kehilangan seluruh data di dalamnya, termasuk puisiku. Apa?!
Aku menangis. Aku marah pada setiap orang yang tak bisa mengerti betapa sedihnya aku di waktu itu. Sepanjang hari, dalam waktu yang cukup lama, aku hanya menangis, menunggu laptopku pulih kembali dan terus berharap sambil berdoa, seluruh data yang ada di dalamnya terselamatkan, minimal puisiku “Alkisah Seorang Puteri (ASP)”
Aku bercerita betapa sedihnya aku ke beberapa orang. Baiklah, aku akan menyebutkan nama mereka satu per satu. Stella, Eka, Anez, Tifany, Tika, Firman, Linda, Natasia, Tabita, Emma, Tista, Iche, Inri, Vina. Aku ingat betapa aku menangis ketika aku mengetikkan kata-kata dan menekan tombol enter kepada Anez tentang bagaimana aku kehilangan puisiku. Aku ingat bagaimana aku menangis di dalam mobil saat berbicara dari handphone dengan Stella tentang puisiku dan laptopku yang rusak. Aku juga ingat bagaimana aku tak bisa menahan air mataku saat Kak Natasia, Kak Tabita, Kak Emma, dan Bang Dana berkunjung ke rumahku di waktu tahun baru 2010 dan menanyakan tentang ASP-ku. Aku ingat semua itu, aku ingat semua kesedihanku yang sangat dalam saat aku merasa akan kehilangan apa yang sudah aku ketikkan dalam laptopku. Dan aku berterima kasih untuk semua kata penyemangat yang aku dapatkan dari Tista, Tika, dan semuanya. Dan terutama, terimakasih, Tuhan, karena laptopku pulih setelah beberapa minggu menunggu, tanpa aku harus kehilangan data-data yang ada di dalamnya. Artinya, puisiku, Alkisah Seorang Puteri (ASP)-ku selamat. Aku tidak benar-benar kehilangannya.
Tentu saja aku sangat bahagia. Aku kemudian melanjutkan penulisannya. Apa yang ku tulis di dalamnya adalah barisan kata-kata yang ku rangkai sedemikian rupa untuk menggambarkan cinta, benci, sakit, suka, keluarga, sahabat, tentang sebuah perjalanan kehidupan yang ku kisahkan lewat diri seorang puteri.
Aku memainkan kata-kata. Aku mencoba ikut merasakan apa yang sedang ku tuliskan.
Aku sempat berhenti menulisnya, sehari, seminggu, sebulan, dua bulan, enam bulan, dan akhirnya lebih setahun berlalu, aku seolah meninggalkan ASP-ku. Ketika aku merasa bersalah karena telah membohongi diriku sendiri, membohongi orang-orang yang selalu menyemangatiku, ku bilang aku akan segera dan pasti menyelesaikannya, tapi kenyataanya?
Ketika aku masih sangat bersemangat menulisnya, ketika aku masih merasa bahwa ASP itu adalah bagian dari hidupku, napasku, nyawaku (mungkin kelihatannya sedikit berlebihan, tapi memang ‘sempat’ benar-benar demikian), aku berjanji akan menyelesaikannya dan baru akan berhenti ketika sudah mencapai panjang maksimal yang ku impikan. Aku ingin memecahkan rekor MURI. (Berlebihan lagi-kah? Ku rasa juga begitu. Mimpi!)
Aku putus asa. Aku mulai tak yakin dengan apa yang aku kerjakan. Omong kosong ketika aku mengharapkan bahwa suatu hari, ASP-ku akan berada dalam jajaran rak buku yang akan dihampiri orang lain kemudian membelinya. Hai, dunia... Katakan kepadaku, siapakah zaman sekarang ini yang MENYUKAI PUISI sebagai bahan bacaannya? TAK ADA!
Sesungguhnya aku malu. Aku malu pada banyak orang karena aku tak mampu memenuhi janjiku akan menyelesaikannya. Tapi aku tak sanggup lagi menguntai kata-kataku. Aku kehabisan kata. Sudah ku coba lagi untuk mengerjakannya dalam beberapa waktu terakhir ini setelah sempat meninggalkannya selama lebih setahun berlalu. Akan tetapi, aku tak berhasil menyentuh targetku untuk menjadikannya puisi terpanjang. Aku menyerah dan berhenti di kata yang ke 8.558. Aku bukan seorang penulis puisi yang baik.
Aku bahkan tak yakin lagi kalau ada yang akan membacanya kecuali aku, bahkan Stella, Eka, Anez, Tifany, Tika, Firman, Linda, Natasia, Tabita, Emma, Tista, Iche, Inri, Vina, pun aku tak cukup yakin mereka akan menyukai PUISI-ku. Karena pasti akan terlalu sulit untuk memahami maksud dibalik kata-kata ciptaan orang lain.
Aku menyerah.
Inilah beberapa penggal bait Alkisah Seorang Puteri yang ku tuliskan:
***
Saat hati mulai meraba dan mencari
Mengapa tak menemukan?
Saat hati ingin memiliki
Mengapa semua tampak tak mungkin?
Layaknya tertusuk kerikil tajam
Terdengar ocehan dari segala penjuru
Bersama balham tersembur
Itulah yang terasa
Sejenak puteri terdiam
Duduk manis seraya memikirkan dirinya
Kala ia berada di tengah perjalanannya
Ada kecintaan yang tengah menggebu menguasainya
Pada satu lelaki yang sempat menyapanya
Namun kini terasa jauh
Lalu apa yang harus dia lakukan?
Baikkah jika terus berharap?
Angin membawa berita bila ada bunga yang kini masih digenggam sang lelaki
Sekelebat marah seketika membungkus puteri
Kukunya tajam siap mencakar siapa pun yang mencoba dekat
Mutiara bening ikut berjatuhan bersamanya
“Kenapa dia membagi sapanya untukku sementara bunga itu belum dia lepas?!!”
Puteri mulai merasakan cinta ketika itu
Satu rasa di mana kau akan merasa layaknya punya sayap
Terbang semakin tinggi dan tinggi
Mengepak sayap sambil sesekali melihat ke bawah
Penuh pemadangan indah mempesonamu
Hamparan hijau menciptakan angin segar
Kicauan burung jadi satu nyanyian merdu bagimu
Lalu terkadang pula menghanyutkan
Ingin menenggelamkanmu lebih jauh
Lebih jauh dan jauh
Seakan dunia adalah istana pribadimu
Bersama sosok pangeran di sisimu membelaimu
Membisikimu serangkai kata penuh pesona romantis
Kau bebas bersandar di bahunya
Membiarkan segala khayalmu berkelana bebas
Terbang tinggi semakin tinggi
Jauh lebih jauh
Senyummu elok layaknya pelangi ketika itu
Matamu bercahaya
Namun, adakah itu semuanya bersedia terus melekat bersamamu?
Akan ada waktu di mana kau merasa terhempas jatuh
Jatuh bersama sayapmu yang patah
Di mana pemandangan indah itu berubah menjadi ranting-ranting tajam
Semuanya bersiap menghujammu
Bersama batu karang yang tak lagi indah
Semak duri yang menggigitimu
Tulangmu terasa remuk
Gerak bibirmu hanya akan mengundang awan hitam
Dan ketika itu hujan akan mengucur
Deras semakin deras
Bersama aliran merah mengental dari balik lukamu
Semuanya akan terasa pudar
Gelap semakin gelap
Jauh dan lebih jauh
Istanamu bukan lagi istana
Setiap sudutnya hanya akan menjadi tirai hitam bagimu
Membuka segala kenangan serasa madu yang berubah racun kini
Pekikanmu tak kan ada yang menyahuti
Dirimu terlunta
Lampu-lampu indah hanya akan menjadi lidah api yang membakarmu
Kulitmu rapuh
Kau hancur seketika
Ketika kau hendak coba berlari kau akan terjatuh
Terhempas masuk jauh ke dalam lubang nan gelap
Dalam dan sangat dalam
Sulit menemukan ujung
...
...
...
“Aku mencintaimu.”
“Untuk apa dia lontarkan kata terakhir itu bila memilih pergi?”
...
...
...
“Apakah gerangan salahku dibalik keputusan pahit itu?”
Dalam benak puteri lalu turun jawaban
“Aku bukan sosok sempurna yang paham sepenuhnya tentang ukiran hati.
Aku mencintainya dia mencintaiku.
Tapi cintaku tak cukup membuatnya merasa dicintai.
Ku tahu tak bermaksud dia menjadikanku ampas.
Hanya perlu baginya mengantik cinta yang sempurna.
Dan ada yang berhasil menariknya memandang mawar di kastil selatan.”
...
Inilah cerita cinta yang tak pernah berubah sepanjang masa
Selalu ada sakit di setiap kisah
Indahnya buaian seolah membawa raga ini berhasil menetap sejenak dalam wangian janah
Tapi ketika parang menyambar
Menggariskan luka yang mendalam
Semua berbalik
Rasanya seolah terlempar masuk ke dalam tempat api penyiksaan
Tak berujung sakitnya membakar tubuh
Dengan lidah baranya yang menakutkan
Menyapu kulitmu rata beringas
Menjilatimu
Walau air mata berusaha mengibasnya padam
Tak sanggup sama sekali
Abadi selamanya demikian
Lihat?
Lalu apa indahnya cinta yang dikata itu?
Berkasih-kasihan yang memilukan
Begitukah sebenarnya?
...
...
...
Cinta itu curang
Cinta itu ilusi palsu
Cinta itu nafsu bodoh
Cinta itu taring mematikan
Cinta itu alasan bohong
...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Please keep writing. No matter what others think, no matter what others say!!! KEEP WRITING!!!!!
BalasHapusI will, mr. Kees..
BalasHapus:)